Jumat, 13 Juni 2014

Tikus migrasi ke Sawah - Petani makan hati - Pemerintah tenggelam di Laut


Buruknya pola pikir dari mayoritas masyarakat Nusantara (khususnya di daerah dimana saya berdomisili, Ciaro), menganggap bertani bermandikan lumpur adalah pekerjaan yang  cukup hina (menyedihkan), ini adalah indikator betapa "kampungannya" pola pikir masyarakat Nusantara. System pangan adalah WAJIB adanya dan HARAM untuk diabaikan. Apabila masih banyak orang yang menggangap bermandikan lumpur pertanian adalah hal yang menyedihkan, ibarat komputer harus di-instal ulang supaya fresh kembali. Ada yang menuturkan bahwa untuk meng-instal ulang semua ini tidaklah mungkin, jawaban "tidak mungkin" hanya untuk orang yang putus asa, jika ingin suatu perubahan harus melakukan tindakan dan berani mengambil resiko. Segala sesuatu itu ada unsur resiko, apabila ingin menghindari resiko "ya udah mati aja mudah-mudahan masuk surga", dengan kata lain berpikir dengan mimpi bukan dengan logika.

Yang disoroti pada posting kali ini berkaitan dengan pertanian, khususnya pesawahan. Baik atau buruknya hasil pesawahan tidak luput dari pihak Pemerintah berwenang, apakah mereka becus menggunakan otak dan hati yang dilandasi logika serta agama, seandainya hasilnya negatif, Nusantara ini akan menjadi suatu bangsa yang sangat menyedihkan. Dan memang secara realita dan fakta hasilnya negatif. Berikut adalah dokumentasi dari gangguan pertanian di pesawahan;





Dari beberapa foto diatas, menunjukan proses penyemaian benih padi sebelum era tandur terganggu dengan tingkat kerusakan mendekati 70% hingga 90%, bahkan ada yang sampai 98% gagal dalam proses penyemaian. Alasannya tidak lain oleh;


Tidak lain dan tidak bukan oleh TIKUS, dimana jumlah dari populasi tikus ini tidak terkendali, dimana jumlah tikus tidak sebanding dengan jumlah tanaman pertanian. Berikut dokumentasi dari lubang tikus dipesawahan;






Dapat dilihat lubang tikus yang ada dipesawahan, dalam posting ini hanya ditampilkan 4 foto tapi dalam realitanya terdapat ratusan lubang bahkan ribuan. Bingung adalah hal yang sedang dialami petani, dimana proses penyemaian bibit padi terganggu total, para petani mencoba lahan penyemaian dikelilingi oleh plastik seperti pada gambar berikut;


Pada gambar di atas tampak tanah di samping plastik ada banyak jejak kaki tikus dan penggalian tanah oleh tikus. Tapi itu tidak 100% efektif, plastik VS tikus lapar bergigi pengerat, hasilnya plastik dilubangi. Memang ada yang berhasil namun ini bukan solusi puncak. Mungkin salah satu cara yang Logis adalah dengan menekan jumlah populasi tikus supaya tidak menjadi faktor penghambat bertani, yaitu dengan gotong royong secara bersamaan dan menyeluruh dalam prosesnya dengan dikoordinasi Pemerintah terkait, dengan demikian Pemerintah menjadi ada gunanya.

Penulis kali ini menyoroti keras kepada pemerintah terkait, harus peduli terhadap hal demikian dengan menggunakan wewenangnya dan intruksi kepada para petani tentang apa-apa yang berkaitan dengan hama tikus yang tidak terkendali ini. Tentang bagaimana caranya itu dikembalikan kepada pihak-pihak yang terlibat, dimana mereka adalah Manusia yang memiliki Otak dan Hati, apabila Otak dan Hati digunakan untuk proyek, tender, atau modus lainnya, Mubah dikaruniai Otak dan Hati.

Penulis memberikan ULTIMATUM keras, penekanan kepada statement baru "Mungkin saja orang yang berseragam dan memegang pena lebih blo'on dibanding orang yang bermandikan lumpur".

Penulis hanya meluapkan emosi setajam pedang dari kekecewaan banyak petani, kontradiktif, pemerintah seakan sudah menjadi mayat hidup. Tidak ada sedikitpun unsur untuk hidup bersimbiosis.

Seharusnya proses penyemaian seperti demikian;


Mudah-mudahan posting kali ini memberikan semangat baru, percaya diri dan keberanian bagi para petani yang bermandikan lumpur. Dan untuk yang tampil gagah berseragam supaya banyak mikir, belajar, menambah wawasan hidup, bijaksana dan rendah hati. Do'a secara lisan tidak terlalu memberikan pengaruh maka berdo'alah secara lisan dan perbuatan.

observasi dan foto diambil dari kawasan pesawahan Desa Ciaro.

2 komentar: