Rabu, 02 April 2014

Fungsi Hadits



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Manusia diciptakan sebagai khalifah dimuka bumi ini sebagai pemelihara kelangsungan makhluk hidup dan dunia seisinya. Dalam rangka itulah Allah membuat  sebuah undang-undang yang nantinya manusia bisa menjalankan tugasnya dengan baik, manakala ia bisa mematuhi perundang-undangan yang telah dituangkan-Nya dalam kitab suci Al-Qur’an.
Pada kitab suci orang muslim ini, telah dicakup semua aspek kehidupan, hanya saja, berwujud teks yang sangat global sekali, sehingga dibutuhkan penjelas sekaligus penyempurna akan eksistensinya. Maka, Allah mengutus seorang nabi untuk menyampaikannya, sekaligus menyampaikan risalah yang ia emban. Dari sang Nabi inilah yang selanjutnya lahir yang namanya hadits, yang mana kedudukan dan fungsinya sangat penting.
Terkadang, banyak yang memahami agama setengah-setengah, dengan dalih kembali pada ajaran islam yang murni, yang hanya berpegang teguh pada sunnatulloh atau Al-Qur’an, lebih-lebih mengesampingkan peranan Al-Hadits, sehingga banyak yang terjerumus pada jalan yang sesat, dan yang lebih parah lagi, mereka tidak hanya sesat melainkan juga menyesatkan yang lain.
Oleh karena itu, mau tidak mau peranan penting hadits terhadap Al-Qur’an dalam melahirkan hukum Syariat Islam tidak bisa di kesampingkan lagi, karena tidak mungkin  umat Islam memahami ajaran Islam dengan benar jika hanya merujuk pada Al-Qur’an saja, melainkan harus diimbangi dengan Hadits, lebih-lebih dapat disempurnakan lagi dengan adanya sumber hukum Islam yang mayoritas ulama’ mengakui akan kehujahannya, yakni ijma’ dan qiyas. Sehingga, seluruh halayak Islam secara umum dapat menerima ajaran Islam secara utuh dan mempunyai aqidah yang benar, serta dapat dipertangungjawabkan semua praktik peribadatannya kelak.
Di sisi lain Imam Syafi’I telah “menanamkan fondasi efistemologis yang sangat menghujam ketika mengeluarkan kaidah fiqhiyah yang berbunyi: iza asaha al-hadits fahuwa mazhabi, bahwa ketika “sebuah hadits telah teruji kesahihannya, itulah mazhabku” Berawal dari konteks ini ternyata perkembangan agama (hukum) Islam tidak terlepas dari kontek kajian hadits.
B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana kedudukan hadits dalam hukum Islam?
2.    Bagaimana fungsi hadits terhadap Al-Qur’an?
3.    Bagaimana fungsi hadits dalam menetapkan masalah yang belum dijelaskan Al-Qur’an?

C.  Tujuan
1.      Mengetahui kedudukan hadits dalam hukum Islam.
2.      Mengetahui fungsi hadits terhadap Al-Qur’an.
3.      Mengetahui fungsi hadits dalam menetapkan masalah yang belum dijelaskan Al-Qur’an.










BAB II
PEMBAHASAN

A.  Kedudukan Hadits Dalam Hukum Islam
Seluruh umat Islam, telah sepakat bahwa hadits merupakan salah satu  sumber ajaran Islam. Ia menempati kedudukan kedua setelah Al-Qur’an. Keharusan mengikuti hadits bagi umat Islam baik yang berupa perintah maupun larangannya, sama halnya dengan kewajiban mengikuti Al-Qur’an.
Hal ini karena hadits merupakan mubayyin bagi Al-Qur’an,  yang karenanya siapapun yang tidak bisa memahami Al-Qur’an tanpa dengan memahami dan menguasai hadits. Begitu pula halnya menggunakan Hadits tanpa Al-Quran, karena Al-Quran merupakan dasar hukum pertama yang di dalamnya berisi garis besar syariat. Dengan demikian, antara Hadits dengan Al-Quran memiliki kaitan erat, yang untuk mengimami dan mengamalkannya tidak bisa terpisahkan atau berjalan dengan sendiri.
Al-Qur’an itu menjadi sumber hukum yang pertama dan Al-Hadits menjadi asas perundang-undangan setelah Al-Qur’an sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Yusuf Al-Qardhawi  bahwa Hadits adalah “sumber hukum syara’ setelah Al-Qur’an”.
Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber pokok ajaran Islam dan merupakan rujukan umat Islam dalam memahami syariat. Pada tahun 1958 salah seorang sarjana barat yang telah mengadakan penelitian dan penyelidikan secara ilmiah tentang Al-Qur’an mengatakan bahwa: “Pokok-pokok  ajaran Al-Qur’an begitu dinamis serta langgeng abadi, sehingga tidak ada di dunia ini suatu kitab suci yang lebih dari 12 abad lamanya, tetapi murni dalam teksnya”.
Menurut Ahmad hanafi “Kedudukan Hadits sebagai sumber hukum sesudah Al-Qur’an… merupakan hukum yang berdiri sendiri.
Keberlakuan hadits sebagai sumber hukum diperkuat pula dengan kenyataan bahwa Al-Quran hanya memberikan garis-garis besar dan petunjuk umum yang memerlukan penjelasan dan rincian lebih lanjut untuk dapat dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Karena itu keabsahan hadits sebagai sumber kedua secara logika dapat diterima. Di antara ayat-ayat yang menjadi bukti bahwa hadits merupakan sumber hukum dalam Islam  adalah firman Allah dalam Al-Qur’an surah An- Nisa’: 80
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ … (80)
“Barangsiapa yang mentaati Rosul, maka sesungguhnya dia telah mentaati Alloh…”
Sejak masa sahabat sampai hari ini para ulama telah bersepakat dalam penetapan hukum didasarkan juga kepada Hadits Nabi, terutama yang berkaitan dengan petunjuk operasional.
Dalam ayat lain Allah berfirman QS. Al-Hasyr: 7
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…”

Dalam Q.S AnNisa’ 59, Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembali kanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)…”
Dari beberapa ayat di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak cukup hanya berpedoman pada Al-Qur’an dalam melaksanakan ajaran Islam, tapi juga wajib berpedoman kepada Hadits Rasulullah Saw.

B.  Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an
            Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, bahwa Al-Qur’an merupakan dasar syariat yang bersifat sangat global, sehingga bila hanya menggunakan dasar Al-Qur’an saja tanpa adanya penjelasan lebih lanjut maka akan  banyak sekali masalah yang tidak terselesaikan ataupun menimbulkan kebingungan yang tak mungkin terpecahkan. Semisal pada kenyataan praktik sholat, dalam Al-Qur’an hanya tertulis perintah untuk mendirikan sholat, tanpa ada penjelasan berapa kali sholat dilaksanakan dalam sehari semalam, lebih-lebih apa saja syarat dan rukun sholat, dan lain sebagainya. ;orang yang hanya berpegang pada Al-Qur’an saja tidak mungkin bisa mengerjakan sholat, bagaimana praktik sholat, apa saja yang harus dilakukan dalam sholat, apa saja yang harus dijauhi ketika melakukan sholat, dan lain-lain.
Maka, disinilah pentingnya fungsi hadits, yang mempunyai peran penting sebagai penafsir dan  penjelas dari keglobalan isi Al-Qur’an, sehingga manusia dapat mempelajari dan memahami Islam secara utuh. Lebih spesifik lagi, setidaknya ada dua fungsi yang menjadi peran penting hadits terhadap Al-Qur’an, yaitu :
1.        Berfungsi menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an. Maka dalam hal ini keduanya bersama-sama menjadi sumber hukum. Misalnya Allah didalam Al-Qur’an mengharamkan bersaksi palsu dalam firman-Nya Q.S. Al-Hajj ayat 30 yang artinya “Dan jauhilah perkataan dusta. Kemudian Nabi dengan haditsnya menguatkan: “Perhatikan! Aku akan memberitahukan kepadamu sekalian sebesar-besarnya dosa besar!” Sahut kami: “Baiklah, hai Rasulullah. “Beliau meneruskan, sabdanya:”(1) Musyrik kepada Allah, (2) Menyakiti kedua orang tua.” Saat itu Rasulullah sedang bersandar, tiba-tiba duduk seraya bersabda lagi: ”Awas! Berkata (bersaksi) palsu” dan seterusnya  (Riwayat Bukhari - Muslim).
2.        Memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang masih Mujmal, memberikan Taqyid (persyaratan) ayat-ayat Al-Qur’an yang masih umum. Misalnya: perintah mengerjakan sholat, membayar zakat dan menunaikan ibadah haji di dalam Al-Qur’an tidak dijelaskan jumlah raka’at dan bagaimana cara-cara melaksanakan sholat, tidak diperincikan nisab-nisab zakat dan jika tidak dipaparkan cara-cara melakukan ibadah haji. Tetapi semuanya itu telah ditafshil (diterangkan secara terperinci dan ditafsirkan sejelas-jelasnya oleh Al-Hadits). Nash-nash Al-Qur’an mengharamkan bangkai dan darah secara mutlak, dalam surat Al-Maidah Ayat 3 “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi. Dan seterusnya. “Kemudian As-sunnah mentaqyidkan kemutlakannya dan mentakhsiskan keharamannya, beserta menjelaskan macam-macam bangkai dan darah, dengan sabdanya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai, dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai itu ialah bangkai ikan air dan bangkai belalang, sedang dua macam darah itu ialah hati dan limpa Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati di dalam Al-Qur’an. Di dalam hal ini hukum-hukum atau aturan-aturan itu hanya berasaskan Al-Hadits semata-mata. Misalnya larangan berpoligami bagi seseorang terhadap seorang wanita dengan bibinya, seperti disabdakan: “Tidak boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan  ammah (saudari bapak)-nya dan seorang wanita dengan khalal (saudari ibu)-nya”. (H.R. Bukhari - Muslim).

Seluruh umat Islam telah sepakat bahwa hadits Rasul merupakan sumber dan dasar hukum Islam setelah Al-qur’an, dan umat Islam di wajibkan mengikuti sunnah sebagai mana di wajibkan mengikuti Al-qur`an dan hadits.
Al-qur`an dan hadits merupakan dua sumber syariat Islam yang tetap, orang Islam tidak mungkin memahami syari’at Islam secara mendalam dan lengkap tanpa kembali kepada kedua sumber tersebut yaitu Al-qur’an dan hadits.

C.  Fungsi Hadits dalam Menetapkan Masalah yang Belum Dijelaskan oleh Al-Qur`an
Kedudukan Hadits dalam menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh Al-Qur’an menunjukan bahwa Hadits merupakan sumber hukum Islam.
 Karena dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk taat secara mutlak kepada apa yang diperintahkan dan dilarang Rasulullah SAW, serta mengancam orang yang menyelisinya.
Hukum yang merupakan produk hadits (sunnah) yang tidak ditunjukan oleh Al-Qur’an banyak sekali. Seperti larangan Rasulullah tentang haram memakai sutra bagi laki-laki :
حُرِّ مَ لِبَا سُ الْحَرِ يْرِ وَ الذَّ هَبُ عَلَي ذُ كُوْ رٍ ...... ....

“Telah diharamkan memamakai sutra dan emas pada orang laki-laki dari ummatku”, larangan memadu perempuan dengan bibinya dari pihak ibu, haram memakan burung yang berkuku tajam, haram memakai cincin emas dan lain sebagainya, oleh Dr. Yusuf al-Qardhawi dijelaskan “jadilah Hadits sebagai rujukan hukum yang tiada pernah habis-habisnya pada pembahasan fiqih”.
Kedudukan Hadits sebagai sumber hukum Islam sesudah Al-Qur’an adalah sebab kedudukannya sebagai penguat dan penjelas, namun hadits juga dalam menetapkan hukum berdiri sendiri, sebab kadang-kadang membawa hukum yang tidak disebutkan Al-Qur’an, seperti memberikan warisan kepada nenek perempuan (jaddah), dimana Nabi SAW, memberikan seperenam dari harta tinggalan orang yang meninggal (cucunya).
Dengan demikian fungsi hadits adalah merupakan sumber hukum dalam kehidupan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akherat.















BAB III
 PENUTUP

Simpulan
Hadits merupakan berbagai hal yang telah diucapkan dan dicontohkan oleh Rasulullah yang harus dijadikan pedoman dan contoh bagi umat Islam. Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an adalah sebagai penguat dan memperjelas apa-apa yang ada di dalam Al-Qur’an yang masih bersifat global (mu’mal). Hadits adalah merupakan sumber hukum dalam kehidupan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan demikian fungsi hadits secara umum adalah sebagai penjelasan tingkat lanjut dari pokok-pokok hukum-hukum dan perintah-perintah yang terdapat dalam Al-Qur’an.













DAFTAR PUSTAKA

http://syahrulsaipudi.blogspot.com/
http://tatangjm.wordpress.com/fungsi-hadits-terhadap-al-quran/
http://www.slideshare.net/nobericsoember/fungsi-hadits-dalam-ajaran-islam
http://lebak-kauman.blogspot.com/2013/02/fungsi-hadits-dalam-ajaran-islam.html
http://roudhotul.blogspot.com/
http://dediksaidina.blogdetik.com/2012/08/13/fungsi-hadits-terhadap-al-quran/
http://suka-suka-dimana.blogspot.com/2013/06/pengertian-pembagian-dan-fungsi-hadist.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar